Menuju 7 Tahun Pernikahan: Antara Wol, Tembaga, dan Cinta yang Tak Luntur

 

                                                        Source: Dokumentasi Prindai

Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Katanya, di usia ini, pernikahan mulai memasuki fase “menguji daya tahan.” Tapi jujur saja, aku masih merasa seperti pengantin baru yang menikah buru-buru karena Ramadhan tinggal menghitung hari. Ya, kami menikah di bulan April, tepat beberapa hari sebelum Ramadhan tiba. Sebuah awal yang manis—dan penuh tantangan, karena langsung masuk mode fasting and bonding sekaligus. Seru, tapi juga cukup bikin sport jantung.

Kini, tujuh tahun berlalu begitu cepat. Saat melihat kalender Hijriyah, ternyata ulang tahun pernikahan kami akan jatuh di bulan Syawal tahun ini. Rasanya simbolik sekali: Syawal yang artinya “naik,” semoga maknanya juga berarti naik level dalam sabar, syukur, dan tentu saja—keromantisan yang tetap dipertahankan meski kini lebih sering berupa saling mengingatkan untuk antar laundry atau isi token listrik.

Dari berbagai sumber receh tapi menarik, aku baru tahu kalau di Britania Raya, hadiah tradisional untuk ulang tahun pernikahan ke-7 adalah wol, sedangkan di Amerika, tembaga. Jujur, aku gak yakin ini petunjuk hadiah atau kode keras dari semesta. Wol itu hangat dan nyaman—seperti selimut di malam hujan, atau seperti pelukan suami saat aku lagi mewek gara-gara anak - anak gak mau tidur siang. Sedangkan tembaga kuat dan konduktif, seperti pernikahan kami yang alhamdulillah tetap menghantarkan cinta walau kadang harus melewati kabel kusut bernama “komunikasi yang delay.”

Tapi apa pun simbolnya, aku tahu satu hal pasti: aku bersyukur, setiap hari. Suamiku bukan hanya teman sekamar yang selalu rebutan selimut, tapi juga sahabat sejati yang tidak pernah mengecilkan cita-citaku. Dari keinginan untuk lanjut sekolah, bikin komunitas, hingga idealisme-idealisme yang kadang terlalu serius untuk didiskusikan jam 11 malam saat dia sudah mau tidur—dia selalu jadi pendengar yang baik. Walau kadang sambil merem, minimal dia bilang, “Kamu bisa, kok,” sebelum akhirnya pingsan beneran.

Kami tidak sempurna, tentu saja. Kadang aku terlalu banyak nanya, dia terlalu hemat kata. Kadang aku pengen liburan ke tempat estetik, dia lebih milih leyeh-leyeh di rumah sekedar membersihkan aquarium atau mengelap mobil. Tapi di sela-sela perbedaan itu, kami belajar untuk tetap jalan beriringan. Pernikahan bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mau ngalah duluan dan siap pesan Americano online sebagai tanda damai.

Menuju tujuh tahun ini, aku tidak minta banyak. Tidak perlu wol tebal dari Britania atau tembaga mengilap dari Amerika. Cukup terus bersamanya—dalam suka yang penuh canda, dalam duka yang kita hadapi berdua. Karena dia adalah rumah terbaik yang pernah aku miliki. Tempat pulang, tempat rehat, tempat untuk jadi diriku seutuhnya tanpa takut dihakimi.

Dan semoga, saat tahun-tahun berikutnya datang—entah itu perak, emas, atau platinum—kami tetap bisa duduk berdua, ngopi sambil saling ledek, dan berkata: “Ternyata kita sejauh ini, ya. Alhamdulillah, masih sama-sama waras.”

Comments