Tatapan Itu, Luka Itu, dan Doa yang Tertahan

Anak laki-laki tetangga itu menyapa anakku lagi hari ini.

             Photo by Villager Boy from Pexels

Seperti biasa, aku hanya mengangguk singkat dari balik pintu. Tapi ada yang lain dalam sorot matanya. Luka. Keheningan. Keteguhan yang dipaksakan. Seolah ia tak punya tempat bertanya, tak ada ruang untuk mengeluh.

Ia kelas 3 SD, tapi caranya memandang seperti seseorang yang sudah lama bertahan dari badai.

Kadang ia datang menjelang maghrib menjajakan salak, suaranya pelan, hampir tak terdengar. Kadang hanya melintas bersama anak-anak lain, sesekali melambai pada anak-anakku dari luar pagar. Tapi aku tak pernah benar-benar tahu siapa dia. Hanya tahu ia tetangga. Hanya tahu ia punya tatapan yang selalu mencubit hatiku.

Ibuku bilang, beberapa hari lalu anak itu ikut bermain di depan rumah. Tapi dia tidak benar-benar bermain. Ia hanya duduk, memperhatikan dari kejauhan. "Seperti orang yang ingin ikut tapi tak punya izin untuk bahagia," kata ibuku.

Aku bekerja. Dari pagi sampai petang. Setiap kali anak-anakku membuka pagar dan hendak lari keluar, aku langsung berteriak, menyuruh mereka kembali. Takut hilang. Takut jatuh. Takut lepas dari pengawasanku. Tapi untuk anak itu? Tak ada yang mengejar. Tak ada yang memanggil pulang.

Hari itu, aku mendengar kabar yang membuat nafasku tercekat.

Katanya, matanya yang biru itu bukan karena lahir dengannya. Tapi karena dipukul. Oleh orang dari minimart. Juga oleh orang tuanya. Karena mencoba mencuri sosis. Sosis yang bahkan tak sempat ia genggam.

Aku tidak tahu harus merasa apa.

Marah? Sedih? Malu?

Aku hidup nyaman. Dibesarkan dalam rumah yang hangat. Kini berjuang agar anak-anakku tumbuh dalam pelukan rasa aman. Tapi di tengah kenyamanan itu, bagaimana bisa ada anak yang harus memikirkan bagaimana caranya makan?

Bagaimana bisa aku tidur dengan tenang, saat di depan rumahku sendiri ada luka yang tak bisa kuobati?

Aku menangis diam-diam.

Bukan karena aku seorang pahlawan.

Tapi karena aku sadar... aku bukan siapa-siapa. Aku bukan penyelamat. Aku tak punya cukup kuasa untuk menyelamatkan dia. Bahkan untuk bertanya, aku terlalu takut.

Yang bisa kulakukan hanya mendoakannya, dan berharap semesta membelanya, karena aku tak bisa. Aku terlalu sibuk, terlalu takut, terlalu kecil di hadapan sistem yang melukainya.

Namun aku juga percaya: doa-doa diam para ibu... kadang sampai lebih dulu ke langit dibanding teriakan mereka yang berkuasa.

Untuk anak laki-laki itu, maaf jika dunia terlalu kejam. Maaf jika aku pun belum cukup kuat untuk melindungimu. Tapi kau ada dalam doa-doaku yang paling tulus, malam ini dan entah berapa malam setelahnya.

Semoga Allah yang menjagamu, Nak.


Comments