Mom guilt adalah istilah untuk rasa bersalah yang sering dialami para ibu ketika merasa tidak cukup baik atau gagal memenuhi ekspektasi dalam mengasuh anak. Perasaan ini memang nyata adanya, dan kabarnya banyak ibu diam-diam mengalaminya. Aku pun tak luput dari mom guilt. Sejak menjadi ibu, berkali-kali aku dihadapkan pada rasa bersalah semacam ini. Berikut kisah perjalananku dalam mengenali dan mengatasinya.
Mom guilt pertamaku muncul ketika aku terpaksa menyapih anak pertama lebih dini karena kembali hamil. Setiap mengASIhinya aku kontraksi, di usianya ke sembilan bulan demi kesehatan janin aku harus berhenti menyusui. Walau tahu itu keputusan terbaik, hatiku hancur. Malam itu aku menangis, merasa mengecewakan si sulung karena gagal memenuhi target dua tahun menyusu.
Rasa bersalah lain muncul ketika aku merasa belum siap mental menjadi ibu. Padahal aku sudah rajin belajar teori parenting sebelum melahirkan, kenyataannya saat bayiku lahir aku tetap kewalahan. Setiap tangisannya membuatku panik dan ragu mengambil keputusan. Aku pun berpikir, kenapa masih gugup padahal sudah belajar?Tantangan lain datang ketika dokter menyatakan anakku memiliki indikasi gizi kurang. Mendengar hal itu, dunia serasa runtuh dan mom guilt menghantam lebih keras. Sebagai ibu, aku merasa gagal memberi nutrisi terbaik untuk buah hati. Aku bertanya-tanya, apakah aku kurang perhatian? Apakah kesibukan kerjaku membuatku lalai mengurusnya?
Kepercayaan diriku runtuh; hampir setiap malam aku menangis diam-diam dan sulit tidur memikirkan kondisinya.Pada titik itu, aku sadar perlu meminta bantuan. Aku tidak malu untuk menemui psikolog, hanya saja bingung harus memulainya dari mana. Aku mencoba konsultasi dengan beberapa psikolog yang berbeda hingga akhirnya menemukan yang benar-benar sesuai denganku. Dari sesi-sesi konsultasi itu, aku mulai memahami bagaimana cara mengelola distorsi kognitif yang selama ini membebaniku. Suamiku, meskipun awalnya asing dengan hal-hal terkait kesehatan mental, selalu mendukung apa pun yang perlu dilakukan setelah setiap sesi psikolog. Ia dengan senang hati mengakomodasi kebutuhanku dalam proses pemulihan.
Beruntung, aku bertemu psikolog yang cocok dan ia mengajarkanku teknik journaling untuk menyalurkan perasaan. Setiap malam setelah anak tidur, aku menuangkan isi hati ke buku harian. Perlahan, bebanku terasa terangkat dan kusadari bahwa selama ini aku terlalu keras pada diri sendiri. Lambat laun, aku belajar memaafkan diri dan mensyukuri hal-hal baik yang kulakukan sebagai ibu. Aku juga jadi ingat untuk menghargai momen-momen kecil bersama anak-anakku yang sebelumnya tertutup oleh rasa bersalah.
Seiring waktu, pola pikirku berubah lebih positif. Saat mom guilt datang lagi, aku sudah tahu cara mengelolanya. Jika berbuat salah pada anak, aku akan meminta maaf dan memeluknya. Setelah itu, aku berusaha melepaskan rasa bersalah dan berhenti menyalahkan diri. Aku ingatkan diri bahwa sudah berusaha semampunya dan tak ada ibu yang sempurna. Beban dan rasa bersalah yang dulu menghantui kini telah berganti menjadi keinginan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi, sekecil apa pun usahaku setiap hari.Sekarang mom guilt masih sesekali muncul, tapi tak lagi menguasai diriku.
Aku tahu banyak ibu lain merasakan hal serupa, jadi kita tidak sendiri. Rasa bersalah itu muncul karena kita peduli, tapi jangan sampai menghambat kebahagiaan kita sebagai ibu. Tak ada salahnya bercerita kepada orang terdekat atau meminta bantuan profesional jika beban terasa berat. Ingatlah, ibu yang bahagia dan sehat akan lebih baik dalam merawat anak-anaknya. Maafkan diri sendiri atas kesalahan yang lalu, dan fokus pada kasih sayang yang bisa kita berikan saat ini. Mom guilt memang nyata, tapi bukan akhir dari segalanya — kita tetap bisa mengatasinya dan bangkit menjadi ibu yang lebih kuat dan bahagia.
Comments
Post a Comment