Perang Kurma: Medjool vs Sukkari vs Ajwa, Siapa yang Paling Sunnah?

Photo by Quintin Gellar from Pexels

Ramadan tiba, dan seperti biasa, umat manusia kembali menghadapi dilema abadi: memilih kurma yang paling layak untuk berbuka. Apakah harus Medjool yang ukurannya jumbo dan harganya hampir setara dengan emas per gram? Atau Sukkari yang legit-manisnya bisa bikin gigi protes? Atau Ajwa yang katanya kurma nabi, meskipun harganya bikin rekening beristighfar?

Perdebatan ini semakin seru karena bukan sekadar soal selera, tapi juga gengsi. Ada yang merasa kalau buka puasa dengan Medjool itu high class, karena ukurannya besar dan kelihatan mewah. Sementara tim Sukkari berargumen bahwa mereka tetap mendapatkan kemewahan rasa dengan harga lebih masuk akal. Tak mau kalah, tim Ajwa membawa dalil: “Ini kurma favorit Nabi! Sunnah, Bro!”

Baiklah, mari kita bahas satu per satu.

Medjool: Kurma Sultan yang Bukan untuk Rakyat Jelata

Medjool itu seperti teman yang suka flexing. Besar, manis, mahal. Kalau kurma lain dikemas dalam plastik biasa, Medjool harus di dalam kotak eksklusif, seolah-olah kalau ditaruh di kresek akan kehilangan harga dirinya. Makan Medjool itu pengalaman spiritual—bukan karena lebih berkah, tapi karena setelah tahu harganya, kita jadi lebih banyak istighfar.

Saking mahalnya, Medjool sering jadi hadiah premium di parsel Ramadan. Apakah penerima parsel benar-benar akan memakannya? Belum tentu. Bisa jadi disimpan sebagai pajangan atau malah disirkulasikan ke parsel lain. Kalau ada yang benar-benar makan, biasanya potong kecil-kecil dulu biar awet sampai Lebaran. 😂

Sukkari: Manisnya Bikin Lupa Dunia

Sukkari adalah pilihan mereka yang ingin tampil fancy tanpa terlalu menguras kantong. Teksturnya lembut, rasa manisnya seperti kasih sayang ibu, dan yang paling penting: lebih ramah di dompet daripada Medjool.

Para penggemar Sukkari mengklaim bahwa kurma ini punya keseimbangan sempurna antara kemewahan dan keterjangkauan. Tapi, mereka juga diam-diam tahu kalau Medjool tetap jadi kasta lebih tinggi. Itu sebabnya, mereka tetap akan pamer kalau pas kebetulan dikasih Medjool gratis.

Ajwa: Sunnah atau Strategi Marketing?

Ajwa punya daya tarik berbeda: branding islami. Begitu disebut kurma nabi, harga bisa melambung tanpa banyak protes. Padahal, kalau dipikir-pikir, Nabi Muhammad ï·º juga makan kurma lain yang lebih lokal dan tidak perlu impor. Tapi tidak, masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa Ajwa = keberkahan instan.

Yang agak lucu, orang sering beli Ajwa karena alasan religius, tapi tetap pilih yang ukuran besar dan mengkilap. Lho, kalau niatnya sunnah, kenapa masih pilih yang estetik? Bukannya Nabi dulu makan kurma yang ada saja, tanpa harus cek apakah ini Ajwa premium atau bukan?

Kembalilah ke Esensi: Apapun Itu, Asal Bukan Produk Kurma terafiliasi I*riwil

Terlepas dari segala drama harga dan gengsi, ada satu hal yang seharusnya lebih penting: buka puasa itu sunnahnya pakai kurma, bukan pakai kartu kredit. Rasulullah tidak pernah repot membandingkan Medjool vs Sukkari vs Ajwa. Yang penting ada kurma, makan, selesai.

Jadi, mau Medjool, Sukkari, Ajwa, atau bahkan kurma lokal yang sering dipandang sebelah mata, semua tetap sah untuk berbuka. Yang tidak sah adalah kurma yang keuntungannya justru dipakai untuk menindas dan menzalimi orang lain. Karena percuma makan kurma dengan dalih sunnah, tapi uangnya malah mengalir ke institusi yang menindas sesama manusia.

Kalau memang ingin berbuka dengan berkah, belilah dari sumber yang jelas, bukan yang terafiliasi dengan apartheid dan ethnic cleansing. Karena, sejujurnya, keberkahan itu lebih penting daripada gengsi pamer makan Kurma Eksklusif di Media Sosial.


Comments

Post a Comment