Photo by Tima Miroshnichenko
Aku pernah berada di titik terendah dalam hidupku. Ketika aku menerima amanah baru di Universitas, sebuah tanggung jawab yang menuntut aku mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah aku hadapi sebelumnya, beban itu langsung menghantamku dengan keras. Di tengah target-target pribadi dalam dunia akademik yang terus mengejar, aku juga harus memenuhi tuntutan sebagai orang tua bagi dua toddler yang mengalami GTM. Rasanya, seolah-olah aku ditarik ke berbagai arah dalam waktu yang bersamaan.
Hampir setiap malam, aku menangis tanpa henti. Emosi mudah tersulut, seolah setiap tekanan dari segala sisi langsung meledak di dalam diriku. Rasa frustasi, kelelahan, dan ketidakmampuan mengimbangi semuanya membuat aku merasa hancur. Aku pun mulai mempertanyakan kemampuan diri sendiri, merasa tidak sanggup memenuhi ekspektasi yang diberikan oleh dunia akademik dan kehidupan pribadi.
Lebih dari dua tahun aku berkonsultasi dengan psikolog. Konseling tersebut membantuku memahami akar dari kelelahan emosional yang aku rasakan. Di samping itu, aku membaca buku dan mendengarkan podcast-podcast tentang manajemen waktu. Salah satu sumber inspirasi yang sangat membantu adalah channel Ali Abdaal. Lewat berbagai video dan tips yang disajikannya, aku belajar bagaimana cara membagi prioritas, mengelola jadwal, dan menetapkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal-hal kecil yang dia bagikan ternyata memiliki dampak besar dalam mengubah cara pandang dan pendekatanku terhadap hidup.
Aku mulai menyusun ulang rutinitas harian dengan lebih sistematis. Pertama-tama, aku menyadari bahwa tidak semua tugas memiliki urgensi yang sama. Aku belajar untuk menentukan apa yang benar-benar penting dan mendesak, sehingga aku tidak membebani diriku dengan hal-hal yang bisa ditunda. Setiap pagi, aku membuat daftar prioritas dan menetapkan waktu khusus untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik, tanpa mengorbankan waktu bersama anak-anak.
Di tengah kesibukan itu, aku memutuskan untuk mengambil langkah berani: mengambil cuti selama satu semester guna mengasuh anak. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, mengingat target-target akademik yang harus aku capai. Namun, aku sadar bahwa kesehatan mental dan kebahagiaan keluarga adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai. Waktu yang kuhabiskan untuk menemani tumbuh kembang anak, meskipun dalam satu semester, memberikan aku kesempatan untuk mengisi ulang energi dan kembali menemukan semangat yang sempat hilang.
Kini, aku melihat perubahan yang signifikan dalam diriku. Transformasi emosional dan mental yang aku alami membawa aku ke titik di mana aku bisa lebih tenang dan bijak dalam menghadapi tekanan. Aku belajar bahwa penting untuk mendengarkan diri sendiri dan memberikan waktu untuk berhenti sejenak, merenung, serta mengevaluasi apa yang telah terjadi. Dengan pemahaman itu, aku kini mampu menyusun rencana dan harapan untuk masa depan dengan lebih realistis dan optimis.
Harapan ke depan, aku bertekad untuk terus menjaga keseimbangan antara tanggung jawab profesional dan pribadi. Aku ingin mengimplementasikan semua pelajaran yang telah kupetik selama ini agar tidak kembali ke kondisi burnout. Dengan dukungan dari orang-orang terdekat, konseling psikolog, dan inspirasi dari sumber-sumber seperti Ali Abdaal, aku yakin bisa menata kembali hidupku menuju arah yang lebih cerah. Perjalanan ini memang penuh liku, namun setiap langkah merupakan bagian dari proses untuk menjadi versi terbaik dari diriku.
Comments
Post a Comment