Photo by Pixabay from Pexels
Aku pernah merasa ada yang tidak utuh dalam diriku. Bukan karena aku tidak disayangi, bukan pula karena aku kekurangan secara fisik. Tapi ada sesuatu yang mengendap, yang tak mampu kusebut namanya saat kecil dulu. Baru saat aku menjadi orang tua, perasaan itu muncul lagi—dalam bentuk kemarahan yang tak kupahami, tangis lelah yang kutahan-tahan, dan kekhawatiran yang berlebihan atas hal-hal kecil.
Ternyata, ada banyak hal dari masa lalu yang belum pernah betul-betul kuhadapi. Bukan trauma besar yang dramatis, tapi pola. Cara bicara, cara menanggapi tangisan, cara menyikapi kegagalan, bahkan cara melihat diri sendiri. Semua itu seperti warisan tak terlihat yang dibawa turun-temurun.
Dulu aku mengira itu normal. Tapi ketika aku mulai membesarkan anakku, aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Terkadang aku meniru suara yang pernah kudengar saat kecil—nada tinggi yang muncul karena panik, kalimat pendek penuh tekanan yang terucap karena takut anak "tidak tahu aturan." Aku terdiam setiap kali menyadari hal itu. Apakah ini yang disebut siklus?
Kupikir, zaman dulu memang berbeda. Banyak yang percaya bahwa ketegasan itu satu-satunya jalan. Bahwa kasih sayang tak perlu ditunjukkan secara langsung. Mungkin itulah pola yang mereka kenal, dan yang mereka ulang. Seperti salinan dari generasi ke generasi. Mungkin sekarang kita menyebutnya "parenting VOC"—keras demi kebaikan, disiplin demi bertahan.
Namun, zaman berubah. Anak-anak hari ini tumbuh dalam dunia yang berbeda. Dan sebagai orang tua, aku merasa terpanggil untuk mengubah arah. Tapi aku sadar, perubahan itu tak mudah jika aku sendiri belum selesai dengan apa yang kusimpan sejak lama.
Maka aku mulai belajar memaafkan. Bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena aku ingin melepaskan beban itu. Aku tidak ingin menjadi orang tua yang hanya bereaksi dari rasa sakit yang tak selesai. Aku ingin membesarkan anakku dengan sadar, bukan sekadar meniru apa yang dulu kuterima.
Memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi lebih kepada menerima kenyataan bahwa tak ada yang sempurna. Semua orang pernah bertumbuh dalam keterbatasan, dan semua orang pernah mengira bahwa caranya adalah satu-satunya cara. Aku memilih untuk tidak meneruskan pola yang tidak lagi relevan.
Aku mulai mengganti nada suara, memilih kata yang lebih lembut, menahan diri untuk tidak langsung menghakimi. Kadang aku gagal, tentu saja. Tapi sekarang aku sadar, dan itu membuatku berbeda. Kesadaran itu membuatku merasa lebih hadir, lebih utuh, dan lebih manusiawi.
Setiap kali anakku memelukku tanpa takut, setiap kali dia berani bercerita tanpa ragu, aku merasa satu lapis luka dalam diriku mulai sembuh. Mungkin begitulah cara penyembuhan dimulai: dengan niat untuk mengakhiri apa yang dulu tak selesai. Bukan dengan marah, tapi dengan kasih. Bukan dengan dendam, tapi dengan harapan.
Dan hari ini, aku memilih untuk menjadi rantai terakhir dari warisan pola lama. Aku ingin mewariskan pelukan, bukan tekanan. Aku ingin anakku tumbuh tanpa perlu menyembuhkan apa yang seharusnya tak perlu dilukai sejak awal.
Comments
Post a Comment