Sekiranya aku terlalu kaya harta, mungkin aku akan sibuk mencari tempat penyimpanan yang cukup aman, cukup besar, dan cukup bisa menyamarkan kekayaan yang terlalu itu. Soalnya, punya harta berlebih tuh ribet. Bukan karena tidak enak—oh, jelas enak—tapi karena kadang bingung: ini uang mau diapain lagi?
Tapi aku sadar, definisi “terlalu kaya” itu sendiri masih misterius bagiku. Katanya, orang terlalu kaya itu hartanya tak habis tujuh turunan. Tapi aku belum punya kalkulator generasi untuk ngitung, ini anak cucu cicit piye kok bisa makan terus sampai tujuh kali regenerasi. Atau katanya juga, orang terlalu kaya itu yang masuk 1% populasi manusia terkaya. Yang ini juga sulit. Soalnya, untuk sampai di sana, sepertinya tak cukup cuma bangun pagi dan minum infused water. Kayaknya butuh modal, koneksi, dan otak yang bisa multitasking antara baca laporan keuangan sambil ngecek saham sambil mikir bikin startup.
Tapi tahu nggak? Aku ini tidak ambisius. Aku nggak punya target punya rumah di lima benua, atau koleksi mobil listrik yang parkirnya pakai lift sendiri. Hal paling mahal yang aku inginkan itu… naik haji. Iya, salah satu rukun Islam. Sebuah perjalanan spiritual yang, anehnya, justru makin mahal dari tahun ke tahun.
Naik haji itu nggak hanya perkara uang, tapi juga perkara waktu tunggu. Bahkan kalau aku daftar sekarang, mungkin undangannya datang bareng undangan pernikahan cucuku nanti. Tapi justru di situlah letak kebijaksanaan Ilahi. Keinginan yang sangat mahal itu tidak bisa hanya dikejar dengan uang. Harus ada sabar, ikhtiar, dan tentu saja... doa yang konsisten, bukan doa pas ingat saja.
Jadi, kalau aku terlalu kaya harta, mungkin aku tidak akan berubah jadi orang yang jalan-jalan ke Swiss cuma buat ngadem. Aku tetap akan duduk di warung kopi, pakai daster yang nyaman, mikirin hal-hal kecil kayak: "Kenapa ya anakku kalau disuruh mandi langsung ngantuk?" atau "Kenapa saldoku selalu habis gak sampe seminggu setelah gajian?"
Karena pada akhirnya, aku percaya satu hal: Allah itu Maha Mencukupi. Dalam Quran pun disebutkan, barangsiapa bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah (meskipun aku kadang lupa redaksi ayatnya yang tepat, tapi esensinya terasa di hati).
Dan kalau hidupku terasa cukup, walau tak masuk daftar Forbes, mungkin itu tandanya aku sudah kaya. Kaya rasa syukur, kaya makna hidup, dan kaya alasan untuk terus tersenyum walaupun saldo ATM tidak menunjukkan semangat yang sama.
Jadi, sekiranya aku terlalu kaya harta... mungkin aku akan menyumbang tulisan ini. Gratis. Tanpa royalti. Karena sedekah tak melulu harus pakai rupiah. Kadang cukup dengan senyuman yang membuat hati orang lain ikut merasa kaya.
Comments
Post a Comment