Waktu kecil, Lebaran adalah segalanya bagiku. Aku menghitung hari menuju Idul Fitri dengan hati berdebar. Terbayang baju baru, angpau THR berisi uang baru yang masih wangi, serta toples nastar dan sirup merah di meja ruang tamu. Pagi takbiran, aku bangun paling awal dan langsung memakai baju lebaran meski labelnya masih terpasang. Kebahagiaan masa kecil itu sederhana namun membekas: bermain dengan sepupu di halaman rumah Opah dan memamerkan uang THR seakan harta karun pribadi.
Usia 20-an: Rindu Kampung dan Interogasi Lebaran
Memasuki usia 20-an, terutama saat merantau kuliah di luar kota, penantian Lebaran mulai terasa berbeda. Rasa rindu kepada keluarga semakin tajam, apalagi saat Ramadan menjelang akhir. Tapi, keinginan untuk pulang sering berbenturan dengan ujian akhir dan ongkos mudik. Saat akhirnya bisa pulang pun, ada babak baru yang harus dihadapi: interogasi keluarga besar. “Kapan lulus?” “Kok belum nikah?” — pertanyaan-pertanyaan klasik yang bikin hati tak lagi senyaman dulu.
Namun, ada satu hal yang menyenangkan dan jadi highlight-ku setiap Ramadan: i’tikaf di 10 malam terakhir. Aku biasa melakukannya sendiri, memilih masjid berbeda tiap malam. Di balik sunyi malam, aku menikmati dialog pribadi dengan Yang Maha Kuasa. Terkadang, aku menemukan teman baru—orang-orang yang juga datang sendiri, lalu berbagi sajadah, kurma, dan obrolan ringan selepas tahajud. Ada ketenangan dan keintiman spiritual yang justru terasa lebih bermakna daripada hingar-bingar Lebaran itu sendiri.
Usia 30-an: Lebaran Lewat Kacamata Anak
Kini di usia 30-an, dengan dua orang anak balita dan domisili yang kembali di kota kelahiran, suasana menyambut Lebaran rasanya agak berbeda lagi. Kami tak lagi perlu repot mudik—karena orang tua tinggal hanya belasan menit dari rumah. Di hari Lebaran, kami hanya bergantian mengunjungi rumah orang tua, berpakaian rapi sejak pagi, lalu meluncur satu demi satu. Praktis, efisien… tapi ya, kurang deg-degan.
Kebahagiaan Lebaran justru hadir lewat mata anakku. Melihatnya lompat-lompat senang mencoba baju baru, tertawa saat bermain kembang api, dan menunggu amplop THR dari atok neneknya—membuatku flashback pada diriku sendiri dulu. Dan di situlah, rasa syukur muncul perlahan-lahan.
Namun tetap saja, ada ruang kosong yang menggantung di hati. Ramadan selalu terasa terlalu cepat. Target tilawah yang belum selesai, malam-malam tarawih yang bolong karena tertidur lebih dulu dari anak, sedekah yang tertunda... there are so much left to be desired. Kadang aku berharap bisa “mengulang” Ramadan, memperbaiki yang terlewat, menambah yang kurang.
Refleksi Menjelang Fitri
Di ujung Ramadan, aku jadi lebih paham: menjadi "fitri" bukan tentang seberapa meriah baju baru atau berapa banyak rumah yang dikunjungi, tapi tentang seberapa jujur kita berdamai dengan diri sendiri—atas amalan yang sempat dilakukan, dan yang belum sempat kita tunaikan.
Jadi, apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Atau diam-diam, banyak hati yang merasakan hal serupa, namun memilih diam dan tersenyum?
Comments
Post a Comment