Idul Fitri dulu rasanya seperti surga di bumi. Suasana penuh dengan kebahagiaan, tawa riang, dan aroma ketupat serta roti jala kari yang memenuhi setiap sudut rumah. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mudik ke kampung halaman, bertemu keluarga besar, dan saling berbagi cerita—seolah dunia hanya berputar di sekitar kegembiraan. Seperti ritual tahunan yang tak boleh dilewatkan, Idul Fitri itu momen penuh keajaiban dan kenangan indah.
Dulu, kalau sudah lebaran, keluarga besar dari Buya dan Ummi akan berkumpul. Yang satu di Medan, yang satunya lagi di Tanjung Balai. Di Tanjung Balai ada Atok dan Nenek yang selalu menyambut dengan hangat. Mereka akan menyambut kami, cucu-cucunya, dengan senyum yang tak pernah pudar. Tidak hanya itu, Atok dan Nenek punya tradisi unik yang selalu membuat kami cemas sekaligus bahagia. Setiap kali mudik, mereka selalu meminta kami membawa rapot. Dan jangan harap bisa pulang dengan tangan kosong jika nilai di rapot tidak memuaskan. Kalau ada nilai 9, hadiah uang logam perak dan kekuningan yang sering kami sebut "seribu perak" akan diberikan. Ah, betapa bangganya saat menerima uang itu! Mungkin tidak besar, tapi rasanya seperti mendapat harta karun.
Namun, zaman terus berjalan, dan Idul Fitri kini terasa berbeda. Atok dan Nenek sudah tiada, begitu juga beberapa paman yang dulu selalu menambahkan keceriaan dalam perayaan. Setiap kali lebaran datang, rasa sepi ini semakin terasa. Dulu, rumah penuh dengan suara tawa dan teriakan anak-anak berlarian, sekarang meskipun tetap ramai tapi ada sedikit kedut dihati. Beberapa orang baru memang hadir, tetapi masih ada ruang yang terasa kosong. Ada rasa rindu yang tak terucapkan, dan kadang perasaan sesal datang begitu saja: "Jika saja aku menghabiskan waktu berbicara dengan mereka..."
Sekarang, mudik bukan lagi sekadar perayaan, tapi lebih seperti perjalanan panjang yang dipenuhi dengan harapan akan kebahagiaan dan kenangan yang tersisa. Dulu, pulang kampung itu seperti kembali ke rumah yang sesungguhnya—tempat di mana kita diterima tanpa syarat. Kini, setiap pertemuan terasa lebih berharga, karena kita tahu tak selamanya bisa menikmati kebersamaan yang dulu ada. Dan setiap kali Idul Fitri datang, ada rasa rindu yang selalu menggelayuti hati. "Ah, kapan giliranku?"
Tentu, meskipun banyak yang berubah, semangat Idul Fitri tetap terjaga. Di tengah kebahagiaan yang datang bersama keluarga, tetap ada ruang untuk mengenang yang telah pergi. Dan di sanalah letak keindahan Idul Fitri sekarang. Meskipun terasa lebih sunyi, ada rasa syukur yang lebih dalam karena bisa mengenang setiap momen indah yang pernah ada. Kini, kami yang lebih muda harus berusaha menjaga tradisi itu—untuk Atok, Nenek, Ayahcik, Ayahucu, Ayahalang dan semua yang telah memberikan kami kenangan tak ternilai.
Idul Fitri, meski berbeda, tetap membawa kebahagiaan yang tak tergantikan. Dan meskipun rapot tidak lagi menjadi syarat, uang logam perak dan kekuningan itu tetap ada dalam ingatan, membawa rasa haru di setiap lebaran yang datang.
Comments
Post a Comment