Lailatul Qadar, malam yang penuh keberkahan, datang setiap tahun di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Ketika masih gadis, sepuluh malam terakhir itu aku habiskan dengan i'tikaf di masjid. Ada semacam tradisi pribadi yang membuat hati terasa lebih tenang dan dekat dengan Allah SWT. Aku biasa mulai dengan lima hari pertama di Masjid Agung atau Masjid Al-Jihad Medan. Setiap hari membawa beberapa baju cadangan, karena setelah i'tikaf, aku langsung melanjutkan aktivitas ke kantor. Rasanya seperti bisa memulai hari dengan penuh semangat, bahkan sambil beribadah.
Yang paling menarik adalah bertemu orang-orang baru di sana. Beberapa di antaranya ada yang sampai kini masih aku jaga komunikasi, entah sekadar untuk bertanya kabar atau berbagi cerita. Kemudian, lima hari terakhir aku sering melanjutkan i'tikaf di masjid belakang rumah bersama keluarga. Suasana yang lebih akrab dan nyaman. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain merasakan ketenangan dengan orang-orang yang kita sayangi, sambil menantikan Lailatul Qadar.
Namun, sejak enam tahun terakhir setelah melahirkan anak-anak, i'tikaf menjadi hal yang agak sulit dilakukan. Waktu dan tenaga terbagi untuk keluarga, dan saat malam tiba, aku lebih sering memilih tidur lebih awal untuk bisa bangun sahur. Beberapa kali, suamiku masih menyempatkan diri untuk pergi i'tikaf ke masjid sepulang kerja. Entah mengapa, setiap kali aku mendengar dia bersiap-siap, ada rasa rindu untuk kembali ke masjid dalam kesunyian malam. Tapi, yang paling menggelitik adalah reaksi anak-anak kami.
Ketika mereka tahu ayahnya akan pergi i'tikaf, dengan semangat mereka langsung menyemangati, "Ayah, semangat ya berburu Lailatul Qadar!" Mereka membayangkan bahwa Lailatul Qadar itu adalah sesuatu yang fisik, seperti sebuah harta karun yang bisa ditemukan dengan usaha keras. Meski sudah dijelaskan di sekolah TK tentang makna Lailatul Qadar, rupanya mereka masih kesulitan untuk memahaminya. Mereka hanya tahu bahwa malam itu sangat istimewa, dan ayah mereka tengah berburu keberkahan di malam yang penuh cahaya itu. Lucu rasanya mendengar semangat mereka yang tulus dan polos.
Melihat antusiasme mereka, aku jadi tersenyum sendiri. Mungkin, meskipun aku belum bisa i'tikaf lagi seperti dulu, semangat untuk meraih keberkahan malam-malam Ramadhan tetap ada, bahkan di dalam diri anak-anak. Mereka mungkin belum sepenuhnya mengerti apa itu Lailatul Qadar, tapi semangat mereka untuk berusaha mendapatkannya sudah cukup membuat hati ini hangat. Siapa tahu, beberapa tahun ke depan, kami bisa i'tikaf bersama mereka—berburu Lailatul Qadar sebagai keluarga. Pasti akan jadi kenangan yang tak terlupakan.
Pada akhirnya, Lailatul Qadar bukan hanya tentang malam yang penuh rahmat, tapi juga tentang semangat yang tetap ada dalam hati, bahkan ketika waktu dan keadaan tidak lagi sama. Semoga setiap usaha kita untuk meraih keberkahan-Nya selalu diterima, baik melalui i'tikaf, doa, maupun dalam kesederhanaan hidup sehari-hari.
Comments
Post a Comment