Perjalanan Ibadah Tarawih yang Berubah Seiring Waktu

Photo by Thirdman from Pexels

Dulu, ketika aku masih single dan belum memiliki anak, momen tarawih selalu menjadi penanda malam Ramadan yang penuh berkah. Setiap malam, aku menantikan kesempatan untuk melangkahkan kaki ke masjid, di mana barisan jamaah begitu rapi dan semangat ibadah terasa mengalir kental. Di Bogor, aku sering menghabiskan 10 hari Ramadan dengan i'tikaf, menjelajahi masjid-masjid besar di Jabodetabek. Begitu pula saat aku berdomisili di Medan, selama masih sendiri, aku rutin menunaikan tarawih sekaligus i'tikaf di Masjid Al-Jihad atau Masjid Agung. Kenangan itu bagai oase di tengah padang pasir kehidupan yang kadang terasa gersang.

Namun, segalanya berubah ketika aku memiliki seorang toddler dan menyusul seorang bayi cantik yang energik dan penuh keingintahuan. Kini, malam tarawih bukan lagi tentang keindahan barisan jamaah atau keheningan masjid yang mendalam, melainkan tentang perjuangan pribadi untuk tetap menjalankan ibadah di tengah keributan kecil yang datang dari rumah. Tarawih yang dulu selalu terisi kini bolong-bolong, diwarnai dengan interupsi tawa riang dan tangisan kecil anakku. Tak jarang, aku sampai terpaksa menutup mata sejenak karena kelelahan, tertidur sambil menunggu si kecil beristirahat sebelum akhirnya aku bisa menyelesaikan sholat.

Di antara hiruk-pikuk tersebut, aku belajar bahwa ibadah bukanlah tentang sempurna atau seragamnya pelaksanaan, melainkan tentang keikhlasan dan usaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dalam kondisi apapun. Meski tarawihku kini tidak lagi teratur seperti dulu, setiap rakaat yang aku kerjakan tetap memiliki makna yang mendalam. Aku menyadari bahwa anak adalah amanah dan juga bentuk ibadah yang harus disyukuri. Tanggung jawab mengasuh mereka menuntut komitmen yang tak kalah besar, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan momen-momen yang dulu begitu kusayangi.

Setiap malam, di sela-sela usaha menenangkan anak yang rewel, aku selalu mengingat pesan-Nya dalam Al-Quran: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi...” (QS. Al-Qashash:77). Ayat itu selalu mengingatkanku untuk tetap menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara tanggung jawab sebagai orang tua dan sebagai hamba yang selalu mendambakan kehadiran Allah dalam setiap langkah.

Ada kalanya, ketika anakku telah tertidur pulas, aku duduk sejenak di ruang tamu, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menyelesaikan sisa ibadah. Di momen itu, aku merasa rindu pada malam-malam yang dulu, di mana setiap rakaat tarawih terasa begitu khusyuk dan hati benar-benar tersentuh. Namun, aku juga bersyukur atas karunia yang lain, yakni kehadiran anak yang memberikan warna dan arti baru dalam hidupku. Aku pun belajar bahwa ibadah tidak selalu harus dilakukan dalam suasana yang sunyi dan sempurna; ibadah juga terjadi dalam kesederhanaan, dalam keikhlasan mengurus anak, dan dalam setiap doa yang terlantun meski penuh keterbatasan.

Malam ini, aku kembali merenung, sambil menyusun doa agar Allah senantiasa memberi kekuatan untuk menyeimbangkan antara peran sebagai orang tua dan sebagai hamba yang mengabdikan diri. Aku sadar, setiap usaha dan pengorbanan kecil itu adalah bagian dari perjalanan spiritualku. Meski tarawih tak lagi terpenuhi dengan deretan rakaat yang konsisten, setiap detik yang kuhabiskan dalam ibadah, meski terdisrupsi oleh kehadiran anak, adalah bentuk cinta dan syukur kepada-Nya. Semoga aku terus diberikan kemudahan dalam setiap langkah, serta diizinkan merasakan kedamaian di tengah keterbatasan yang ada. Karena, sesungguhnya, setiap perjuangan kecil adalah ibadah yang tak ternilai harganya.

Comments